Sabtu, 16 Agustus 2008

HERMENEUTIKA DAN AL QURAN

Oleh Mahmudah

Saat ini tantangan terberat yang sebenarnya dihadapi oleh umat Islam adalah persoalan pemikiran keagamaan. Karena seperti kita ketahui bahwa saat ini di kalangan internal umat Islam sedang terjadi kejumuddan, fanatisme, taklid, kurafat dan sebagainya. Salah satu contoh yang menunjukkan hal tersebut adalah kemampuan akal umat Islam saat ini tidak berfungsi, ini berarti bahwa kita cenderung taklid dengan pemikiran orang lain dan tidak pernah berpikir sendiri. Baik itu taklid dengan pemikiran ulama salaf maupun pemikiran golongan di luar Islam non muslim.[1]Oleh sebab itu benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa bangsa pecundang (kalah) akan mengikuti bangsa yang menghegemoninya, hampir diseluruh aspek kehidupannya baik kultur, sistem dan sebagainya. Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah benarkah umat Islam saat ini adalah bangsa pecundang mungkin pertanyaan ini perlu analisis yang lebih mendalam, selanjutnya pertanyaan yang muncul adalah wacana pemikiran apa yang menghegemoni kita saat ini.

Adapun wacana pemikiran yang perlu kita waspadai seperti sekulerisme, liberalisme, pluralisme dan relativisme. Hanya saja dalam pembahasan ini penulis mencoba mengupas masalah hermeneutika yang merupakan turunan dari paham-paham isme diatas. Hemeneutika berasal dari bahasa Yunani Hermeneuin yang.[2] Sehingga secara ringkas hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu atau hermeneutika juga diartikan sebagai suatu cara atau metode untuk menefsirkan simbol berupa teks, atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks untuk mencari dicari arti dan maknanya.[3] Dari pengertian diatas jika dilihat sekilas maka pengertianya tidak jauh berbeda dengan ilmu tafsir yaitu sama-sama menafsirkan. Hanya saja terletak pada konsepsi mengenai sifat dan otoritas teks serta keautentikan atau kepermanenan bahasa dan pengetian kitab suci tersebut. Umat Islam secara universal mengakui Al Quran sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatain kepada nabi dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika nabi masih hidup. Adanya variasi bacaan telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang sebagai suatu yang tidak signifikan perbedaanya hanya pada kata-kata yang mengandung pengertian yang sama.

Sedangkan metode hermeneutik ini berasal dari tradisi Kristen atau Yahudi yang kemudian diadopsi oleh para teolog dan filsafat barat dari tradisi Yunani menjadi interprestasi teks secara umum. Heremeneutik berkembang dalam tradisi Kristen dan intelektual barat karena berangkat dari teks bibel dan doktrin teologis kristen yang banyak mengandung banyak sekali masalah dimata cendikiawannya sendiri.

Ada empat model interpretasi bibel yaitu: 1. literal interpretasion, 2) moral interpretation, 3) allegorical interpretation, 4) analogical interpretation.[4] Dari empat model tersebut ada dua dua model yang menjadi arus utama interpretasi bibel pada awal-awal sejarah kekristenan, yaitu model Alegoris (Alexandria) dan literal (Antionch). Model Alegoris terpengaruh dengan tradisi filusuf Yunani yang biasa dipakai untuk menginterpretasikan mitos-mitos Yunani kuno. Dan medel ini dianggap yang paling tinggi dibanding model intrepretasi yang lainnya.

Jika kita lihat dari asal Hermeneutika dan juga model penginterprestasiannya. Maka Hermeneutika sebenarnya tidak tepat untuk dijadikan metode dalam menafsirkan Al Quran karena kesahihannya dapat sempurna, diriwayatkan secara mutawatir dan ada segolongan manusia yang menghafalnya. Berbeda dengan Bibel yang bermula dari: 1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks, 2) tidak ada laporan atau tafsiran yang diterima secara mutawatir, 3) tidak ada yang menghafal teks-teks bibel.[5]

Sementara itu, aneh jika metode Hermeneutika yang sebenarnya tidak cocok untuk menafsirkan al-Quran justru didukung oleh sebagian cendikiawan muslim, seperti yang ditawarkan oleh Nasr Abu Zayd yang biasa disebut kesarjanaan kritis Al-Quran menyebutkan bahwa : 1) ia mempertegas hubungan Hermeneutika Al-quran dan kritik Al-Quran. 2) mendesakralisasi dan mendemistifikasi Al-Quran. Sehingga ia berpendapat bahwa Al-quran harus diperlakukan sebagai sebuah produk kultural, sebuah teks linguistik, teks historis dan bahkan teks manusiawi, kendati ia memiliki hakikat sebagai sebuah teks ilahiyyah.[6]

Adapun yang ditawarkan oleh Nasr Abu Zayd diatas tentu sangat bertentangan dengan ilmu tafsir, sehingga Hermeneutika bisa dikatakan berbeda dengan tafsir walaupun dalam pengertiannya sama-sama bermakna menafsirkan. Karena menurut Al-Attas tafsir berkembang karena sifat ilmiyah struktur bahasa arab[7]. Dan tafsir itu sendiri sangat penting karena ia merupakan ilmu yang diatasnya dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian, budaya dan kebudayaan Islam yang perkembangannya dimulai dari Nabi yang berupa rumah beliau kemudian sahabat, tabi’in dan para ulama.

Akan tetapi Amin Abdullah dalam Adian Husaini (2006 :136) mengatakan bahwa

” metode penafsiran selama ini senantiasa hanya menafsirkan hubungan penafsiran dengan teks Al-quran tanpa mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks hal ini mungkin dapat dimaklumi sebab para mufasir klasik lebih menganggap tafsir Al-quran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya atau barangkali karena trauma mereka pada penafsirkan teologis yang pernah melahirkan pertarungan poitik yang maha dahyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari itu alasan-alasan tersebut tafsir klasik Al-quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam ” .

Ini merupakan kritik yang cukup berani dan tidak punya landasan yang kuat sehingga sebenarnya tidak pantas dilontarkan oleh cendikiawan muslim. Apalagi beliau sendiri belum pernah menulis kitab tafsir satu pun. Dan ini yang harus dihindari karena walau bagaimanapun saat ini yang terpenting bagaimana mengembangkan ilmu tafsir yang tidak bertentangan dengan Al-quran dan Sunnah itu sendiri.

Berikut satu contoh penafsirkan A-quran dengan metode Hermeneutika yang dijelaskan oleh Nasr Abu Zayd mengenai poligami : [8]


Interpretasi Tentang poligami Nasr abu Zayd

Tentu interpretasi diatas sangat bertentangan dengan pendapat ulama terdahulu bahkan bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Bisa jadi penafsiran tersebut erat kaitannya dengan faham feminis yang berkembang. Dan penafsiran ini cenderung liar, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan. Dan yang terjadi dari interpretasi diatas akan menimbulkan relativisme kebenaran, dan ini yang sebenarnya harus dihindarkan. Karena jika tidak ada kebenaran lalu apa yang akan kita perjuangkan.

Akan tetapi walaupun hermeneutika dianggap menyimpang, namun yang perlu kita pahami adalah semua ilmu datangnya dari Allah dan mempelajarinya bukanlah sebuah kesalahan. Namun kita harus menempatkan ilmu pada porsinya masing-masing. Tidak mungkin seorang dokter kandungan mengoprasi pasien berpenyakit jantung, begitu juga dengan Hermeneutik tidaklah cocok jika digunakan untuk menginterpretasikan Alquran. Karena yang akan muncul adalah relativisme kebenaran. Padahal selama ini kita yakin bahwa apa yang kita anut adalah sebuah kebenaran. Jika kebenaran ternyata relative lalu dimana kita akan mencari kebenaran yang sebenarnya.

Dan yang perlu deperhatikan juga adalah seharusnya umat islam bersikap bijaksana dengan paham-paham yang berkembang saat ini termasuk Hermeneutika. Tidak melulu apresiasip yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori yang membabi buta. Umat Islam perlu mengkaji secara kritis dalam mengkaji karya – karya orientalis itu. Dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang setanding dengan mereka bukan malah mentaklid.

Penulis

· Makalah ini di sampaikan dalam orasi Ilmiah MTQ tingkat Pelajar dan Mahasiswa LDK Matimsya STAIN Pontianak

Daftar Pustaka

Faiz, Fahruddin, 2003, Hermeneutika Qurani, Yogyakarta: Qolam

Husaini, Adian, 2003, Wajah Peradapan Barat, Bandung : Mizan

Husaini, Adian, 2006, Hegemoni Kristen Barat, Jakarta : Gema Insani

Nor Wan Daud, Wan Mohd, 2003, Filsafat dan praktek Pendidikan Islam al Attas, Bandung : Mizan

Nur Ichwan, Moh, 2003, Meretas Kesarjanaan Kritis al Quran (teori hermeneutika Nashr abu Zayd), Jakarta: Teraju

Qordhowi, Yusuf, 2002, Titik Lemah Umat Islam, Bogor : Penebar Salam


[1] DR. Yusuf Qordhawi, Titik Lemah Umat Islam, (Bandung : Penebar Salam, 2002) hal 19

[2] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani (Yogyakarta: qolam, 2003) hal 20

[3] Ibid hal 9

[4] Adian Husaini, Wajah Peradapan Barat, (Jakarta: Gema Insani, 2003) hal 290

[5] Ibid hal 291

[6] Moh Nur Ichwan, Meretas kesrjanaan kritis al quran (Jakarta : Teraju, 2003) hal 161-162

[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, filasafat dan Praktek Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Mizan) hal 362

[8] Moh Nur Ichwan… Op Cit hal 143